Dari Apathis Menjadi Universalist
Gaya hidup kelas menengah muslim di Indonesia telah mengalami perubahan yang radikal. Mulai dari fesyen, food, keuangan, pendidikan bahkan cara mereka memilih pemimpin.
Oleh: Karnoto
Tulisan kali ini sebenarnya masih ada hubungannya dengan Aksi Super Damai 212 Jakarta, Jumat (2/12/2016). Hanya saja konteks dan perspektif penguraiannya yang diperluas. Ada dua alasan mengapa saya tertarik menulis fenomena middle class muslim Indonesia. Pertama, kelas menengah muslim Indonesia sepertinya bergerak lebih cepat dari prediksi sejumlah kalangan menuju komunitas yang akan diperhitungkan semua kalangan. Baik dalam konteks bisnis maupun politik. Alasan kedua, kelas menengah muslim Indonesia kini mulai berani menampilkan identitasnya dalam mewarnai demokrasi.
Dalam pertemuan saya dengan Yuswohady, penulis buku Marketing to the Middle Class Muslim di Jakarta sekira dua tahun lalu. Ada hal menarik yang dia uraikan dalam bukunya tersebut. Memang yang ia bicarakan konteks marketing, namun belakangan juga merembet dalam percaturan politik, khususnya pasca Aksi Super Damai Jilid III. Yuswohady membagi empat kotak sosok konsumen muslim Indonesia, yaitu Rationalist (Gue Dapat Apa), Apathis (Emang Gue Pikirin), Conformist (Pokoknya Harus Islam) dan Universalist (Islam itu Lebih Penting).
Apa yang disampaikan Yuswohady dalam realitasnya memang demikian, kendati kita seperti “dipaksa” mengikuti perubahan demi perubahan yang lebih cepat dari prediksi sebelumnya. Aksi Bela Islam Jilid III yang terjadi belakangan seperti signal bahwa kita harus segera berbenah dalam memandang Islam saat ini dan dikemudian hari. Kelas menengah muslim memiliki andil besar dalam aksi kemarin, sehingga jangan heran kalau ada isu bahwa mereka dibayar mereka langsung bereaksi dengan beragam aksi.
Mereka ingin menegaskan bahwa kalau sekadar urusan perut dan kebutuhan sehari-hari bukan lagi masalah mereka.
Diantara mereka bahkan menunjukan aksi penarikan uang (rush money) sampai membawa mobil mewah yang harganya miliaran rupiah ke dalam lokasi aksi. Tak lain karena ingin menunjukan harga diri mereka bahwa urusan dasar sudah tidak menjadi masalah bagi mereka. Belum ada stastistik pasti berapa persisnya jumlah kelas menengah muslim, namun secara umum pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cukup menggembirakan.
Perubahan ekonomi muslim Indonesia rupanya berjalan beriringan dengan cara berpikir mereka tentang Agama. Semula sebagian menganggap bahwa Agama tidak penting dibawa-bawa ke dalam bisnis, hubungan antar personal apalagi politik. Dalam bahasa Yuswohady “Emang Gue Pikiran” (Apathis). Namun mainstream tersebut mulai berubah, dari apathis menjadi universalitas, artinya tetap menerima perubahan yang ada karena mereka sadar bahwa itu bagian dari takdir dan fenomena dunia.
Namun demikian, mereka juga tidak mau meninggalkan karakter aslinya sebagai seorang muslim. Itu makanya budaya berhijab menjamur dikalangan muslimah. Trend dan model pun beragam. Dari orang biasa, wanita karir, mahasiswa sampai artis pun tidak lagi risih mengenakan hijab. Bahkan mereka semakin percaya diri tampil dengan balutan gamis dan hijab. Dalam sektor lain pun demikian, seperti perbankan, perhotelan, asuransi, makanan dan minuman. Label halal menjadi penting bagi kelas menengah muslim, umroh dan zakat menjadi gaya hidup mereka.
Fenomena ini pun ditangkap para pelaku usaha sebagai peluang bisnis yang menggiuran, apalagi jumlah umat muslim di Indonesia mayoritas dan memiliki kekhasan sendiri. Dan kini, mainstream tersebut mulai masuk ke dalam politik. Kelas menengah tidak lagi memakai standar umum dalam memilih sosok pemimpin publik, tetapi mereka sudah menggunakan ideology sebagai patokan dalam memilih seorang pemimpin.
Kelas menengah muslim Indonesia tidak lagi bisa dibohongi bahwa menggunakan Agama sebagai dasar memilih sosok pemimpin merupakan SARA. Sebab, mereka juga sudah mengerti bahwa hal tersebut adalah ikatan emosional, seperti halnya umat Agama lain memilih pemimpin dengan standar Agama. Pilkada DKI Jakarta menjadi pilot project tentang keseriusan kelas menengah muslim perihal pilihan politik. Bagi pihak lain sebetulnya tidak perlu dipersoalkan apalagi memberikan stigma buruk bahwa alasan memilih pemimpin berdasarkan Agama adalah isu SARA apalagi kemunduran demokrasi.
Lamborghini milik peserta Aksi Damai 212 Jakarta. |
Karena bagi kelas menengah muslim, dimana rata-rata mereka adalah orang-orang terdidik dan memiliki kesempatan memetik hikmah ke berbagai negara lebih luas Islam adalah bingkai semua aktivitas muslim, mulai dari mengurus keluarga, pendidikan anak, berbisnis termasuk dalam berpolitik. Apalagi puluhan abad ideology Islam pernah berkuasa dan fakta sejarah membuktikan bahwa sepanjang ideology Islam berkuasa kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah wilayah terjamin.
Diakhir tulisan bagian pertama ini penulis ingin mengatakan bahwa umat Islam atau lebih tepatnya kelas menengah muslim telah memiliki kepercayaan diri untuk mengelola sumber daya alam ini termasuk dalam urusan politik. Perubahan cara pandang ini memang lebih cepat dari prediksi sejumlah kalangan. Namun sepertinya kelas menengah muslim akan tetap mampu mengikuti perubahan tersebut. Sebagian memang masih ada yang menganggap remeh hal ini, padahal fakta sejarah bahwa perubahan selalu dimotori oleh kelas menengah bukan kaum proletar.
*Penulis adalah Owner Maharti Brand - www.mahartibrand.com
0 komentar:
Posting Komentar